Rabu, 30 Januari 2008

Belajar Menjadi Manusia

“Tugas manusia adalah menjadi manusia.” (Multatuli)

innya, adalah cermin Tuhan di dunia. Dalam hadis qudsi disebutkan bahwa Dia adalah khazanah tersembunyi, yang karena ingin dikenal kemudian menciptakan makhluk. Tentu maknanya bukan pertanda kebutuhan Tuhan akan makhluk-Nya. Sebaliknya, penciptaan adalah karunia terbesar yang dengannya makhluk “menjadi eksis”.

Kejadian manusia adalah simbol praktis kasih sayang Tuhan. Karena kasih sayang-Nya, manusia yang awalnya tidak ada menjadi bernilai. Semuanya bergantung penuh kepada Tuhan, mustahil lepas dari-Nya, sampai kapan pun.

Bentuk paling utama pengungkapan rasa syukur kita adalah menyesuaikan seluruh perilaku kita dengan apa-apa yang telah digariskan-Nya. Dalam kefitrian, kita terbimbing untuk melaksanakan kasih sayang itu adalah dengan menyebarkan nilai-nilai kemanusiaan kepada sesama manusia dan seluruh alam.

Sesungguhnya, tidak ada yang luar biasa ketika kita harus mencintai sesama, membela kaum tertindas, memelihara fakir miskin dan menentang segala bentuk kezaliman. Sebab manusia itu cermin Tuhan.

Sayang, setelah eksis, manusia merasa independen, untuk kemudian berlaku seperti kacang lupa pada kulitnya.

Karena menganggap diri sebagai pusat kosmos, mulailah kita berlaku sombong dan merendahkan makhluk lainnya. Baik buruk sebuah perilaku dinilai melulu dari perspektif subjektif kita. Kalau kita berkuasa, kebenaran adalah milik kita dan menentangnya adalah kesalahan. Kalau dibawah, demi menjaga kedudukan, kita menjilat penguasa. Sambil terus menginjak yang di bawah.

Maka kita tidak peduli dengan jerit tangis orang yang lebih rendah dari kita. Kita tidak peduli dengan kejahatan penguasa. Kalau kita senang, itu berasal “murni usaha kita”; kalau orang lain susah, itu “memang nasibnya”. Saat kita susah dan menderita, Tuhan hadir sebagai kambing hitam. Di saat kita bahagia dan merasa aman, Tuhan kita letakkan begitu saja. Entah di mana.

Pembenaran selalu ada mengiringi setiap laku. Sebab kita tidak mau disalahkan. Kejahatan yang kita lakukan terhadap sesama dianggap dapat dicuci dengan sekadar sedekah dan beberapa ritual.

Seringkali kesalehan ritual mengunci mati rasa kita. Setelah terlaksana, segala tanggung jawab selesai. Tuhan dianggap sudah puas melihat segala laku ibadah kita. Padahal reritualan yang kita jalankan adalah bagian dari rutinitas. Setelah seluruh tenaga dan konsentrasi habis untuk memperkuat posisi keduniawian kita. Kita selalu berkonsentrasi dengan pekerjaan dunia kita. Dan konsentrasi kita terlalu sering buyar dengan hanya ibadah beberapa menit.

Pada saat yang sama kita tidak ragu untuk berbuat maksiat dan kezaliman. Kita menganggap itu bukan wilayah Tuhan. Atau kita punya pembenaran lain atas nama Tuhan. “Manusia itu adalah tempatnya lalai dan dosa”, demikian sebuah ayat suci. Dan kita selalu mentolerir perbuatan dengan memelintir ayat suci ini.

Maka kita tidak ragu untuk menjual diri dan terus korupsi. Kita tidak malu memperturutkan nafsu berkuasa kita, meskipun mengorbankan rakyat. Kita tidak takut untuk mempermainkan ayat-ayat Tuhan.

Kita memang sudah sakit jiwa.

Jika waktu kita tertutup untuk kembali kepada Tuhan, kita akan tenggelam dalam kerusakan dan kelalaian.

Sesungguhnya, langkah pertama adalah senantiasa sadar dan bangkit dari kesadaran. Akan tetapi, hingga saat ini, kita masih tidur nyenyak. Mata kita terbuka, tetapi hati kita terlena dalam tidur yang berkepanjangan. Sekiranya bukan sebab banyaknya melakukan dosa, niscaya tidak demikianlah akibatnya. Kita tidak berpikir bahwa semua benda yang maujud ini akan kembali dan dihisab. Segala sesuatu yang terbatas pasti berubah dan akan mengalami kehancuran.

Tidak ada kelonggaran di sisi Allah. Di antara kebahagiaan manusia adalah bahwa ia tidak diuji dengan penyakit yang tidak dirasakannya. Sakit yang diderita tubuh mendorong kita untuk berobat ke dokter. Namun, penyakit yang tidak disertai rasa sakit lebih berbahaya ketimbang sakit yang langsung terasakan. Penyakit-penyakit hati atau jiwa hampir bersifat seperti ini.

Kelalaian, keangkuhan dan setiap maksiat yang merusak hati dan ruh tidak terasakan sakitnya oleh tubuh. Padahal penyakit ini lebih parah. Malah kadang kita lebih menikmatinya.

Cinta dunia dan cinta diri adalah sumber asasi setiap dosa, pokok setiap kejahatan, pintu setiap malapetaka, lubang setiap fitnah dan penyeru setiap kedurjanaan yang dirasakan oleh manusia dengan perasaan nyaman dan enak. Jika penderita penyakit diberitahukan bahwa sebenarnya ia sakit, niscaya ia akan membantahnya.

Apabila seseorang tidak pernah mendidik dirinya dan tidak luput dalam dirinya kecenderungan duniawi, maka dia akan merasa takut meninggalkan dunia. Hatinya penuh dengan dendam terhadap Allah dan penolong-penolong agama-Nya. Dan apakah manusia semacam ini merupakan sebaik-baik makhluk, ataukah seburuk-buruk makhluk?

Allah berfirman: “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat-menasehati dalam hal kesabaran”. (QS. Al-‘Ashr 103:1-3).

Pengecualian yang terdapat dalam surat ini adalah orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Amal saleh merupakan amal yang dilaksanakan dengan ruh (keikhlasan). Tetapi kebanyakan amal-amal kita hanya dilakukan dengan anggota indera tanpa kandungan pesan-pesan seperti yang tersebut dalam surat suci itu.

Manusia seperti ini senantiasa akan melakukan maksiat siang dan malam. Ia sukar menyucikan hati sementara usianya semakin lanjut. Semakin lama manusia terlena berbuat dosa, cermin bening dihatinya sedikit demi sedikit ternoda dan menghitam. Bila hal ini terus berlanjut, ia akan berada pada satu keadaan di mana berbuat kejahatan lebih dinikmati ketimbang berbuat kebaikan.

Ketika kejahatan menjadi kebiasaan, kebaikan tidak lagi dianggap. Ketika Tuhan telah kita singgirkan dari dalam diri, kita tempatkan mahkluk lain sebagai pengganti-Nya. Ketika kita mengganti kedudukan-Nya dengan selain-Nya, sempurnalah kemusyrikan kita.

Sudah saatnya kita kembali kepada kemanusiaan kita yang fitri. Selama ini, segenap perilaku kita ternyata tidak menunjukkan bahwa kita ini manusia. Kesadaran diri bahwa kita adalah manusia yang sepantasnya berbuat sesuai dengan kemanusiaan kita adalah pembenahan paling awal. Selanjutnya, penghancuran ego, sedikit demi sedikit, harus dijadikan komitmen abadi. Ego yang menganggap diri kita lebih dari yang lain. “Tidak akan masuk surga seorang hamba yang di dalam hatinya masih ada seuil kseombongan.”

Dikisahkan dalam sebuah hadis, seorang pelacur melihat seekor anjing yang kehausan. Ia masuk ke dalam sumur, menjadikan sepatunya sebagai wadah untuk kemudian diminumkan kepada anjing tersebut. Atas perbuatan ini, pelacur itu masuk surga. Orang yang mendengar menilai bahwa kisah ini adalah bukti kasih sayang Tuhan, sehingga seorang pelacur pun dapat masuk surga.

Hal itu benar. Tetapi, ada hal yang lebih substansial. Ketika pelacur itu memberikan minuman kepada anjing, ia berkata, “Ya Allah, betapa mulia anjing ini. Ia sadar dengan keanjingannya, sedang aku tidak sadar dengan kemanusiaanku.” Kesadaran bahwa betapa dirinya demikian hina, bahkan bila dibandingkan oleh seekor anjing, membuatnya masuk ke surga.

“Barang siapa yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya”, demikian kata hadis. Manusia adalah cermin Tuhan. Kasih Tuhan harus kita terjemahkan dan bumikan ke seluruh alam. Indikasi utama terlaksana tidaknya pembumian kasih itu adalah dengan menerapkan keadilan yang menjunjung tinggi harkat kemanusiaan.

Manusia adalah cermin Tuhan. Cermin adalah subjek pasif. Kedudukan setiap cermin adalah sama dan sejajar. Sempurna tidaknya sebuah cermin tergantung sejauh mana ia dapat memantulkan kesempurnaan Subjek sesungguhnya, yaitu Tuhan. Refleksi kebertuhanan individu berbanding lurus dengan sejauh mana ia dapat menjadi media bagi menyebarnya kasih Tuhan di dunia.

Bukti-bukti Ketunggalan Realitas 3

menggapai-gapai jemari orok merah, susu ibuku tetek ibuku,

kerna di dalam susu-lah sermpurnalah ia

demikian pula majnun sang Qays, tanpa Layla pun ia teriakkan Layla, kerna di dalam Layla sempurnalah ia

menggapai-gapai lautan wujud nan mungkin,

wujud wajibku wujud wajibku, kerna di dalamNya sempurnalah ia

demikian pula khidir sang Hidup,

di samudera Hidup pun ia teriakkan Huwa,

kerna di dalamNya sempurnalah ia

Man ‘arafa nafsahu faqod ‘arafa robbahu. Barangsiapa menganal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya. Demikian sabda Junjungan Kita YM Rasulullah SAWW. Maka salah satu ibarat yang dapat diambil dari ucapan Baginda Rasul SAWW tersebut; Barangsiapa yang mengenal kefaqiran esensial dirinya dan keinginan dirinya untuk menuju Kesempurnaan maka ia akan mengenal Tuhannya, taklain adalah Kesempurnaan itu sendiri.

Intelek (akal) manusia tiada yang tak memahami kefaqiran esensial dirinya sendiri. Apakah itu kefaqiran esensial? Bahwa diri seseorang, maupun semua miliknya, ataupun hal-hal yang jauhari ( substansial) maupun ‘aradhi (aksidental) dari dirinya, mungkin lenyap sesaat setelah ini. Sebuah roti kecil yang menyumbat jalan pernafasan bisa melenyapkan jiwa . Sebuah kompor kecil yang meledak bisa menghancurkan seluruh harta-benda maupun keluarga. Sebuah tabrakan maut dengan mudah melenyapkan jiwa-jiwa. Apakah benar manusia bisa memiliki sesuatu? Sedangkan dirinya sendiri pun tidak ia miliki? Apakah benar orang terkaya memiliki harta terbanyak? Dan apakah benar orang ‘alim memiliki ‘ilmu terbanyak? Sedangkan gerak jantungnya sendiri pun tidak ia miliki? Maka jelas bahwa antum al-fuqoroo` ila alloohi., kamu semua faqir terhadap Allah. Dan sesungguhnya Allah Maha Kaya atas sekalian alam, Innallooha ghoniyyun ‘ani al-‘aalamiina.

Di sisi lain, intelek(akal) memandang bahwa semua makhluk bergerak menuju yang lebih sempurna bagi dirinya sendiri secara spontan. Demikianlah bayi menangis mencari susu. Harimau lapar mencari makan. Laki dan wanita menikah. Hujan turun dari langit. Air sungai mengalir ke lautan. Wanita hamil makan lebih banyak. Dan lain-lain. Maka demikianlah manusia mengharapkan Kesempurnaan. Manusia belajar agar semakin berilmu, dan Berilmu adalah suatu kesempurnaan. Manusia makan agar berkekuatan, dan Berkekuatan adalah suatu kesempurnaan. Manusia bermain musik agar semakin lembut dan indah, dan Lembut maupun Indah adalah suatu kesempurnaan.

Pada saat lautan kefaqiran menerpa manusia, dengan bala dan bencana, dengan berbagai hal yang menggundahkan dirinya, dengan hambatan-hambatan untuk mencapai nikmat-nikmat kesempurnaan, maka hati manusia menyeru secara spontan pada Kesempurnaan Tunggal, tak lain tempat bergantungnya seluruh ide kesempurnaan yang ingin ia capai. Duhai Tuhan, Duhai Kenikmatan Yang Sempurna. Demikianlah, salah satu bukti adanya Tuhan adalah; bayangkan diri Anda terapung-apung di sebatang kayu kecil di samudera maha luas, maka saat itu apakah yang akan Anda bayangkan? Satu kefaqiran, ketakberdayaan total, kelemahan total diri, dan satu ketergantungan total ke Satu Fokus Yang Maha Kokoh. Saksikanlah demikian jelas dan terang dalam hati ! Allohu ash-shomad. Engkaulah itu Yaa Allah, An-Nuur, yang maha terang dan menunjuki segala yang di langit dan di bumi, dan Al-Qudduus, yang tak kan terjangkau oleh pandangan apa pun kecuali dirinya sendiri.

Maka kecenderungan hati manusia untuk menuju Kesempurnaan Yang Satu merupakan bukti nyata Keberadaan Kesempurnaan itu. Maka ingatkah kita akan "perjanjian" kita sebelum hidup di dunia ini dengan Tuhan; alastu birobbikum, qooluu balaa. Apakah Aku TuhanMu, mereka semua berkata yaa.

Padahal dapat dibuktikan dengan mudah bahwa kesempurnaan identik dengan keberadaan. Karena sesuatu disebut sempurna bila tak butuh selain dirinya, dan tak ada yang tak butuh selain dirinya untuk mengada selain keberadaan. Maka jika kesempurnaan itu ada, pastilah ia tak lain adalah keberadaan itu sendiri.

Maka, barang siapa mengenal dirinya, yakni kefaqiran esensialnya, dan mengenal bahwa Yang Sempurna(baca pula ; Ada) Hanyalah Satu, maka ia mengenal Tuhannya, yakni Kesempurnaan (baca pula; Keberadaan) itu sendiri.

Pada saat Pemimpin Mukminin Imam ‘Ali bin Abi Thalib (‘a.s.) membicarakan tentang jiwa yang al-kulliyyatul-ilaahiyyah (komprehensif ilahi), Beliau (‘a.s.) menyifatkan lima kekuatan jiwa yang seperti ini; baqaa`un fii ial-fanaa` i, wa na’iimun fii asy-syiqaaqi, wa ‘izzun fii dzillin, wa ghoniyyun fii faqrin, wa shobron fii balaa`in(kekal dalam kefanaan, dan nikmat dalam kesengsaraan, dan mulia dalam kehinaan, dan kaya dalam kemiskinan, dan sabar dalam bencana. Dan beliau (‘a.s.) menegaskan pula bahwa Sumber dari kelima kekuatan ini adalah Allah dan kepadaNya-lah akan kembali. Maka, barang siapa mengenal dirinya, yakni kefaqiran esensialnya, dan Yang Kekal, Yang Nikmat, Yang Mulia, Yang Kaya, Yang Sabar hanyalah Dia Yang Maha Sempurna , maka ia telah mengenal TuhanNya, yakni Kesempurnaan itu sendiri.

Maha Suci Allah, Yang baginya segenap Kesempurnaan, di awalnya maupun di akhirnya, di segala tempat dan segala waktu, di segala alam yang tampak maupun yang gaib.

Tunjukilah kami semua WajahMu Yang Mulia, Yaa Allah, dengan keterputusan kepada selainMu,

dan hanya pada wajahMu dan gemilangnya saja kami menatap.

Bihurmati Muhammadin wa aali Muhammad.

Wa allohu a’lam bi ash-showwab.

[[[ :::::: penulis Dr.Dimitri Mahayana :::::::]]]]]

Bukti-bukti Ketunggalan Realitas 2

bening dan hening, lautan kesejukan dalam

gemilang kerlap cahaya

buta segalat mata, tuli segala telinga, pula segenap rasa

oh layla perawan suci, kusentuh indahmu dengan indahmu dan

bukan selain itu

oh layla purnama rindu, kudesahi nanar matamu dan

keindahannya dengan celakmu dan bukan selain itu

Bilama ada keindahan nan senantiasa perawan dan kecantian nan senantiasa terjaga dalam masudera ‘iffah (kehormatan serta keanggunan), maka tentulah itu adalah Dia, Yang Maha Cantik dan Teramat Menarik namun tak tersentuh oleh siapa pun, bahkan oleh pandangan siapa pun. Mata-mata majnun hingga nanar mengharapkan persuaan dengan layla pun yang didapatinya tak lebih dari domba-domba yang mengembik. Maka, dikisahkan dalam tarikh, betapa Penghulu Semua Wanita di Semesta Fathimah binti Muhammad (‘alaihimassalam) selalu dalam keadaan Perawan. Maha Suci Dia yang menjadikan kekasih-kekasihnya sebagai ibarat atas DiriNya Sendiri. Wa yabqoo wajhu robbika dzu aljalaali wa al-ikraami. Dan kekallah wajah Tuhanmu.

Maka, Dia-lah Sang Maha Suci Nan Senantiasa Perawan. Dia-lah Sang Maha Perawan, yang bahkan tak tersentuh oleh penglihatan apa pun selainNya dan pendengaran apa pun selainNya. Dalam hakikat KeDiaanNya (huwiyyah) tak mungkin selain Ia menyentuhnya dengan pemahaman (idrak) apa pun, dan tak mungkin pula menyentuhnya dengan apa pun (secara lahir maupun batin) bahkan Ia meliputi segala sesuatu. Allohumma inni as’aluka birohmatika allatii wasi’at kulla syai’. Yaa Allah, aku bermohon kepadaMu dengan rahmatMu yang meliputi segala sesuatu. Alaa innahu bikulli syai’in muhitth. Sesungguhnya Dia atas segala sesuatu Maha Meliputi. Laa tudrikuhu al-abshooru, wa huwa yudriku al-abshoora. Tak menyentuhNya (segala) penglihatan dan Dia menyentuh (segala) penglihatan.

Sebagian orang menganggap bahwa ayat laa tudrikuhu al-abshooru wa huwa yudriku al-abshoora menegaskan bahwa : Dia tak bisa dipersepsi oleh persepsi apa pun. Adanya realitas yang jamak, minimal adanya persepsi yang jamak

Muhyiddin Ibn ‘Arabi menegaskan bahwa ayat laa tudrikuhu al-abshooru wa huwa yudriku al-abshoora justru menegaskan Ketunggalan Realitas, bahwa hanya Dialah satu-satunya yang maujud dan tiada maujud selain Dia. Dalam Kitab Al-Ajwibah, beliau menuliskan sebagai berikut;

laa tudrikuhu al-abshooru wa huwa yudriku al-abshoora, yakni, tak ada siapa pun dan tiada siapa pun yang berpenglihatan mampu untuk mempersepsiNya. Maka jika kita misalkan ada sesuatu yang lain selain Ia dalam keberadaan, maka kita mesti membolehkan bahwa selain di mempersepsiNya (minimal dalam satu aspek/modalitas keberadaannya yang dirasakan oleh sesuatu yang lain tersebut, penjelasan penulisan).

Tapi Tuhan (Yang Namanya Maha Tinggi) telah mengingatkan kita dalam firmanNya "Penglihatan-penglihatan tak menyentuhNya" yakni tidak ada apa pun disampingNya; artinya, tidak ada yang lain yang mempersepsiNya (dalam seluruh modalitas keberadaannya, penjelasan penulis) tapi Ia yang mempersepsiNya adalah Tuhan (Yang Namanya Maha Tinggi). Maka tak ada apa pun yang lain selain Dia. Dia lah yang mempersepsi Hakikatnya sendiri, dan bukan yang lain. Maka "Penglihatan-penglihatan tak mengenaiNya", secara sederhana adalah karena penglihatan-penglihatan adalah bukanlah sesuatu selain WujudNya sendiri. Dan bila ada yang mengatakan "Penglihatan-penglihatan tak mengenaiNya" karena penglihatan-penglihatan ini bermula hudust sedangkan yang hudust tak mungkin mempersepsi yang qidam", ia belum mengenal dirinya sendiri, karena tidak ada apa pun dan tidak ada penglihatan apa pun kecuali Dia. Dia, maka, mempersepsi WujudNya sendiri, tanpa keberadaan persepsi dan tanpa sifat."

Wa allohu a’lam bi ash-showwab

Bukti-bukti Ketunggalan Realitas 1

lautan dalam setetes air, karena bila tidak, betapa mungkin lautan mengada

mentari ada dalam cahaya purnama, karena bila tidak, betapa mungkin purnama bercahya

hujan, yang menghujani dan yang dihujani, dapatkah engkau pilahkan, duhai Afkari

sebagaimana lautan, yang melauti dan yang dilauti, dapatkah engkau pisahkan, duhai Aqali

Puji pada Nya Yang Maha Kudus, dan tiada tersifati oleh apa pun, oleh siapa pun, kapan pun. Subhanalloohi ‘amma yashifuun. Kecuali oleh hamba-hambaNya yang ikhlash, illa ‘ibaadalloohi al-mukhlashiin, yakni yang telah menyadari tauhid af’aal,, yakni yang menyadari bahwa Pelaku Hakiki adalah Sang Maha Tunggal Yang Sempurna.

Demikian Ibnu ‘Arabi menguraikan bahwa Rasulullah tidak mengatakan barangsiapa fana (lenyap) dalam Tuhannya maka ia mengenal Tuhannya, namun Rasulullah mengatakan barrang siapa mengenal dirinya maka ia mengenal Tuhannya (man ‘arafa nafsahu faqod ‘arofa robbahu). Yakni, barangsiapa mengenal bahwa "dirinya" adalah "ketiadaan" dan hanya Tuhan Yang Ada dan Tiada Selain Dia, maka ia ( baca pula "Ia") telah mengenal Tuhannya.

Yakni, barangsiapa yang mengenal Ketunggalan Realitas yang menampakkan dirinya dalama alam maha-jamak ini, dan tidak melihat adanya sesuatu selain Dia Yang Tunggal dan Meliputi Segela Sesuatu yang tak lain adalah DiriNya Sendiri, maka ia (baca pula; " Ia") telah mengenal TuhanNya.

Maka orang yang percaya adanya penyatuan wujud manusia dan wujud Tuhan adalah puncak kesempurnaan perjalanan ruhani ada dalam kesesatan yang nyata, karena ia telah menyerupakan Tuhan dalam hal yang paling hakiki dengan manusia, tak lain adalah keberadaan atau wujudnya. Argumentasi lain adalah, bagaimana mungkin menyatukan yang tiada dengan yang Ada?

Mengenai orang-orang yang telah mencapai keadaan jiwa ilahiyyah seperti ini, yang telah lenyap dalam samudera Ketunggalan Keberadaan Tuhan seperti ini, mungkin inilah yang diibaratkan oleh Maulana, Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib (‘a.s.) dalam pesannya kepada Kumayl Ibn Ziyad (r.’a.) tentang sifat-sifat jiwa (nafs) yang al-kulliyyah al-ilaahiyyah (komprehensif ke-ilahian); …" ….dan bagi jiwa yang seperti ini terdapat dua sifat khas; ridho (terhadap qodho dan qadar Allah) dan taslim (berserah diri kepada Allah), dan hal ini sumbernya adalah dari Allah dan kepadaNya akan kembali, sebagaimana FirmanNya Ta’aala; dan Kami tiupkan ke dalamnya dari ruh Kami (wa nafakhnaa fiihi min ruuhinaa)…." Dalam riwayat ini, Imam’Ali menegaskan bahwa sumber-sumber keadaan jiwa yang ilahi adalah Allah itu sendiri, dengan merujuk kepada "Dan Kami tiupkan ke dalamnya dari ruh Kamii" Subhaanallooh.

Mengenai bukti (rasional dan filosofis) Ketunggalan Realitas salah satunya adalah sebagai berikut. Pertama, segala yang ada hanyalah lautan keapaan (atau disebut juga mahiyyah/esensi/kuiditas) , seperti halnya ruang, waktu, kopi, langit, atom, gen, yang akan mempunyai efek terhadap yang lain jika telah memiliki keberadaan.Kedua, dengan mengamati bahwa tanpa keberadaannya seluruh samudera keapaan tersebut tidak memiliki efek apa pun, yakni mereka tereduksi dalam keadaan ketiadaan, maka keberadaan lebih nyata (real) dibandingkan dengan keapaan. Ketiga, dengan mengamati bahwa ketiadaan segala sesuatu identik, maka keberadaannya pun identik, maka dapat disimpulkan bahwa Keberadan di Alam Real itu Tunggal. Keempat, dengan mengamati bahwa Keberadaan di Alam Real itu Tunggal, maka semua selain Keberadaan itu sendiri tidak memliki Keberadaan. Kelima, dengan mengamati bahwa semua selain Keberadan itu sendiri tidak memiliki keberadaan, maka keberadaan seluruh samudera maujudaat (hal-hal yang maujud) semuanya tidak real , kecuali Keberadaan itu sendiri. Dan inilah yang disebut dengan Realitas Tunggal yang meliputi semua namun bukan salah satu dari hal yang terliputinya sama sekali. Maha Suci Dia dari semua yang kita sifatkan.

Wa allohu a’lam bi ash-showwab