menggapai-gapai jemari orok merah, susu ibuku tetek ibuku,
kerna di dalam susu-lah sermpurnalah ia
demikian pula majnun sang Qays, tanpa Layla pun ia teriakkan Layla, kerna di dalam Layla sempurnalah ia
menggapai-gapai lautan wujud nan mungkin,
wujud wajibku wujud wajibku, kerna di dalamNya sempurnalah ia
demikian pula khidir sang Hidup,
di samudera Hidup pun ia teriakkan Huwa,
kerna di dalamNya sempurnalah ia
Man ‘arafa nafsahu faqod ‘arafa robbahu. Barangsiapa menganal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya. Demikian sabda Junjungan Kita YM Rasulullah SAWW. Maka salah satu ibarat yang dapat diambil dari ucapan Baginda Rasul SAWW tersebut; Barangsiapa yang mengenal kefaqiran esensial dirinya dan keinginan dirinya untuk menuju Kesempurnaan maka ia akan mengenal Tuhannya, taklain adalah Kesempurnaan itu sendiri.
Intelek (akal) manusia tiada yang tak memahami kefaqiran esensial dirinya sendiri. Apakah itu kefaqiran esensial? Bahwa diri seseorang, maupun semua miliknya, ataupun hal-hal yang jauhari ( substansial) maupun ‘aradhi (aksidental) dari dirinya, mungkin lenyap sesaat setelah ini. Sebuah roti kecil yang menyumbat jalan pernafasan bisa melenyapkan jiwa . Sebuah kompor kecil yang meledak bisa menghancurkan seluruh harta-benda maupun keluarga. Sebuah tabrakan maut dengan mudah melenyapkan jiwa-jiwa. Apakah benar manusia bisa memiliki sesuatu? Sedangkan dirinya sendiri pun tidak ia miliki? Apakah benar orang terkaya memiliki harta terbanyak? Dan apakah benar orang ‘alim memiliki ‘ilmu terbanyak? Sedangkan gerak jantungnya sendiri pun tidak ia miliki? Maka jelas bahwa antum al-fuqoroo` ila alloohi., kamu semua faqir terhadap Allah. Dan sesungguhnya Allah Maha Kaya atas sekalian alam, Innallooha ghoniyyun ‘ani al-‘aalamiina.
Di sisi lain, intelek(akal) memandang bahwa semua makhluk bergerak menuju yang lebih sempurna bagi dirinya sendiri secara spontan. Demikianlah bayi menangis mencari susu. Harimau lapar mencari makan. Laki dan wanita menikah. Hujan turun dari langit. Air sungai mengalir ke lautan. Wanita hamil makan lebih banyak. Dan lain-lain. Maka demikianlah manusia mengharapkan Kesempurnaan. Manusia belajar agar semakin berilmu, dan Berilmu adalah suatu kesempurnaan. Manusia makan agar berkekuatan, dan Berkekuatan adalah suatu kesempurnaan. Manusia bermain musik agar semakin lembut dan indah, dan Lembut maupun Indah adalah suatu kesempurnaan.
Pada saat lautan kefaqiran menerpa manusia, dengan bala dan bencana, dengan berbagai hal yang menggundahkan dirinya, dengan hambatan-hambatan untuk mencapai nikmat-nikmat kesempurnaan, maka hati manusia menyeru secara spontan pada Kesempurnaan Tunggal, tak lain tempat bergantungnya seluruh ide kesempurnaan yang ingin ia capai. Duhai Tuhan, Duhai Kenikmatan Yang Sempurna. Demikianlah, salah satu bukti adanya Tuhan adalah; bayangkan diri Anda terapung-apung di sebatang kayu kecil di samudera maha luas, maka saat itu apakah yang akan Anda bayangkan? Satu kefaqiran, ketakberdayaan total, kelemahan total diri, dan satu ketergantungan total ke Satu Fokus Yang Maha Kokoh. Saksikanlah demikian jelas dan terang dalam hati ! Allohu ash-shomad. Engkaulah itu Yaa Allah, An-Nuur, yang maha terang dan menunjuki segala yang di langit dan di bumi, dan Al-Qudduus, yang tak kan terjangkau oleh pandangan apa pun kecuali dirinya sendiri.
Maka kecenderungan hati manusia untuk menuju Kesempurnaan Yang Satu merupakan bukti nyata Keberadaan Kesempurnaan itu. Maka ingatkah kita akan "perjanjian" kita sebelum hidup di dunia ini dengan Tuhan; alastu birobbikum, qooluu balaa. Apakah Aku TuhanMu, mereka semua berkata yaa.
Padahal dapat dibuktikan dengan mudah bahwa kesempurnaan identik dengan keberadaan. Karena sesuatu disebut sempurna bila tak butuh selain dirinya, dan tak ada yang tak butuh selain dirinya untuk mengada selain keberadaan. Maka jika kesempurnaan itu ada, pastilah ia tak lain adalah keberadaan itu sendiri.
Maka, barang siapa mengenal dirinya, yakni kefaqiran esensialnya, dan mengenal bahwa Yang Sempurna(baca pula ; Ada) Hanyalah Satu, maka ia mengenal Tuhannya, yakni Kesempurnaan (baca pula; Keberadaan) itu sendiri.
Pada saat Pemimpin Mukminin Imam ‘Ali bin Abi Thalib (‘a.s.) membicarakan tentang jiwa yang al-kulliyyatul-ilaahiyyah (komprehensif ilahi), Beliau (‘a.s.) menyifatkan lima kekuatan jiwa yang seperti ini; baqaa`un fii ial-fanaa` i, wa na’iimun fii asy-syiqaaqi, wa ‘izzun fii dzillin, wa ghoniyyun fii faqrin, wa shobron fii balaa`in(kekal dalam kefanaan, dan nikmat dalam kesengsaraan, dan mulia dalam kehinaan, dan kaya dalam kemiskinan, dan sabar dalam bencana. Dan beliau (‘a.s.) menegaskan pula bahwa Sumber dari kelima kekuatan ini adalah Allah dan kepadaNya-lah akan kembali. Maka, barang siapa mengenal dirinya, yakni kefaqiran esensialnya, dan Yang Kekal, Yang Nikmat, Yang Mulia, Yang Kaya, Yang Sabar hanyalah Dia Yang Maha Sempurna , maka ia telah mengenal TuhanNya, yakni Kesempurnaan itu sendiri.
Maha Suci Allah, Yang baginya segenap Kesempurnaan, di awalnya maupun di akhirnya, di segala tempat dan segala waktu, di segala alam yang tampak maupun yang gaib.
Tunjukilah kami semua WajahMu Yang Mulia, Yaa Allah, dengan keterputusan kepada selainMu,
dan hanya pada wajahMu dan gemilangnya saja kami menatap.
Bihurmati Muhammadin wa aali Muhammad.
Wa allohu a’lam bi ash-showwab.
[[[ :::::: penulis Dr.Dimitri Mahayana :::::::]]]]]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar